Senin, 27 Februari 2012

LOVE IN FACEBOOK "Cinta Yang Berbeda"


2. CINTA YANG BERBEDA

 Pagi ini Aline membantu mamanya memasak di dapur, sementara mbok Marni bertugas membersihkan semua ruangan. Aline ingin bertanya pada mamanya meski dengan perasaan yang entah apa namanya Aline pun tak tahu. “mama,...mau masak apa ciih?” tanya Aline basa-basi. “kira-kira mau masak apa kalau semua bahannya sudah ada di depan kamu”? jawab mamanya menggoda. “Akh.. mama ini bisa aja, mama kan tahu kalau Aline belum pernah masak sendiri,,, ehmm...ma...”, sejenak Aline berfikir bagaimana bisa dapat keterangan tentang Dimas dari mamanya. Tapi diurungkan niatnya karena malu. “Kenapa Line?” tanya Ibu Wine. “Aline hanya tersenyum dan menjawab “mama cantik”...Ibu Wine pun tersenyum menanggapi kalimat putri tercintanya. “kamu juga cantik sayang” lanjut ibu Wine. Mereka pun melanjutkan aktifitasnya.

 Hari ini hari libur, Aline duduk dan menyalakan laptopnya, seperti biasa jika ada waktu luang Aline akan menyempatkan membuka Facebooknya untuk sekedar update status, atau membalas pesan dari teman-temannya, meski tak sedikit yang ingin mengajaknya chatting, namun jarang ditanggapinya. Dibacanya status Fadhil :

“Orang sukses bukan karena banyaknya prinsip yang ia punyai, tapi karena  banyaknya prinsip yang sudah ia jalani”

            Dalam hati Aline mengiyakan apa yang dibacanya, dengan ragu-ragu Aline memberikan jempolnya untuk status Fadhil kali ini.

            Aline terus berfikir apa sebenarnya yang tengah terjadi pada dirinya, keinginan untuk mengenal Fadhil begitu kuat, namun begitu menyebut nama Fadhil bayangan Dimaslah yang selalu muncul. Dalam hati ia berharap bahwa Dimas adalah Fadhil, tapi harapan itu hanyalah harapan belaka karena Aline tahu betul bahwa Dimas adalah putra tunggal dari pak Bram dan sudah kuliah, sementara Fadhil masih sekolah di SMA Tunas Bhakti. Jadi jelas sudah bahwa Fadhil itu bukan Dimas.

            Sore yang cerah ketika Aline melangkahkan kaki hendak pergi ke sebuah toko buku yang berada tak jauh dari rumahnya. Memang rumah Aline letaknya sangat strategis, dan di design secara unik, perpaduan antara warna coklat kehitaman dan kuning emas serta tanaman dan bunga-bunga yang ditata dengan rapi semakin membuat orang akan betah berlama-lama tinggal dirumah itu. Semuanya diurus oleh Mbok Marni, sementara kebun depan dan belakang rumah diurus oleh Mang Udin, Mang Udin adalah tukang kebun keluarga Aline namun dia tidak tinggal di rumah Aline karena rumahnya tidak terlalu jauh dan keluarganya pasti akan lebih membutuhkan Mang Udin, terlebih istrinya yang baru saja melahirkan putra ke empatnya satu bulan yang lalu.
           
            “Aku mau beli buku apa ya?” pikir Aline sambil berjalan. Tentu yang tidak akan ketinggalan pastilah novel, salah satu penulis Indonesia yang sangat digandrunginya adalah Habiburrahman El-Shirazy, beberapa karya tulisnya yang sangat bagus diantaranya Pudarnya Pesona Cleopatra, Diatas Sajadah Cinta, KCB, Bumi Cinta sampai AAC  yang rekornya mampu menyaingi Harry Potter telah dibacanya, meski begitu Aline tetap membeli dan membaca novel-novel yang penulisnya belum populer, bahkan novel yang kadang-kadang dijual di pinggir jalan pun tak mengurangi minat Aline untuk membeli dan membacanya. Karena pada dasarnya kemampuan seseorang menulis novel itu tidak tergantung pada ketenaran penulisnya, tetapi pada hasil tulisannya, buktinya beberapa novel Ferry Irawan AM, tidak kalah menariknya, “Saung Naga” cerita cinta bernuansa islami, yang mampu membuat pembaca merasa menjadi tokoh yang ada di dalamnya, dan masih banyak lagi karya-karyanya yang lain, hanya tinggal menunggu waktu saja untuk para pembaca menyerbu Gramedia dan toko buku yang lainnya, novel ini memang masih baru diterbitkan bulan Februari 2010 oleh Penerbit Pustaka El-Syarif. “Sekalian buat perbandingan antara novel yang satu dengan yang lainnya”, begitu menurut Aline. Dengan begitu kualitas tulisan Aline akan semakin lebih menarik, meski masih dalam tahap belajar. Aline tersenyum kecil dan mengayunkan kakinya lebih cepat karena terik matahari sore ini cukup membuat muka dan kulit lengannya kemerah-merahan karena panas.

Setibanya di toko buku, Aline sudah tak sabar untuk segera menyusuri rak-rak buku. “Line, cari buku apa?” tanya Ayyas pemilik toko buku itu. Sebenarnya Ayyas punya lima karyawan yang bertugas menjaga toko buku, dua orang SPG, satu orang kasir dan dua orang bagian gudang. Namun Ayyas selalu ada setiap hari di sana untuk menerima laporan hariannya, maklum Ayyas belum mendapatkan asisten yang cocok untuknya, beberapa waktu yang lalu sempat ada namun kurang begitu bisa untuk diandalkan sehingga Ayyas memberhentikannya. “Emm, ada buku baru ga Mas Ayyas?” Aline menjawab dengan pertanyaan. “Buku atau novel?” tanya Ayyas kembali. “Dua-duanya mungkin boleh dilihat dulu?” jawab Aline sembari memberikan senyuman termanisnya pada Ayyas, senyuman yang membuat hati Ayyas berdebar tak karuan. Ayyas pun berjalan mendekati rak buku khusus novel terbarunya bulan ini dan menunjukkannya pada Aline. Sekali lihat Aline mulai tertarik dengan design covernya, font huruf, perpaduan warna dan karakternya sangat kuat. “ The Music Box of Love” begitu judulnya.

“Mas Ayyas, buku ini sepertinya bagus.. berapa harganya?” tanya Aline. Bukannya menjawab pertanyaan Aline malah Ayyas sibuk merhatiin muka Aline, “Subhanallah..” kata Ayyas. Aline tersenyum bingung membuat Ayyas sadar dan cepat-cepat menguasai dirinya. “Eh, Line.. tadi nanya apa?” Tanya Ayyas sambil tersenyum malu. Ayyas memang menyukai Aline, tapi Ayyas belum bisa mengatakan perasaannya ke Aline, takut Aline marah dan tak mengunjungi toko bukunya lagi. “Lebih baik bisa melihatnya setiap saat, memperhatikannya, melihat senyumnya daripada kehilangan pelanggan secantik Aline begitu pikir Ayyas. Hmm....

Setelah puas mendapatkan buku dan harganya juga tak terlalu mahal, Aline pun pamit pulang, tak lupa dia ucapkan terimakasih pada Ayyas. Ayyas tersenyum dan mengantar Aline keluar pintu toko.

Sambil jalan Aline sibuk memperhatikan buku yang baru dibelinya, rasanya sudah tak sabar ingin tahu jalan ceritanya. Tiba-tiba... brugh.. aw.. Aline menjerit kecil, bukunya terjatuh karena menabrak anak kecil yang sedang berlari.

Anak kecil itupun meringis menahan sakit. Aline yang tadinya mau marah menjadi iba melihatnya. “Adek ga apa-apa? Sini kakak bantu”. Kata Aline sambil mengulurkan tangannya. Tak lama kemudian ada seorang laki-laki yang menghampiri mereka setengah berlari.

“Maafin adek saya mbak..! kata laki-laki itu. Aline tercengang melihatnya. “Iya, ga apa-apa, kamuu... karyawan bengkel itu kan?” tanya Aline seolah tak mengenal nama Dimas. Dimas pun tersenyum mengiyakan.

“Gimana, kakinya masih sakit Arga?” tanya Aline. “sedikit kak...” jawab Arga sambil meringis menahan sakit. “ga apa-apa, anak laki-laki harus kuat, apalagi cuma karena jatuh” timpal Dimas. Aline sudah lega karena Arga sudah bisa tersenyum setelah diobati oleh seorang perawat. Mereka pun meninggalkan rumah sakit.

Disepanjang perjalanan hanya ditemani celotehan Arga, sesekali Aline dan Dimas saling menatap dan tersenyum. “Kak Aline cantik, baik lagi... Arga seneng ditemani kak Aline, kapan-kapan Arga boleh main lagi ga sama kak Aline?” tanya Arga. “Aline tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Tiba di depan pintu rumah Aline, “Arga sama kak Dimas, mampir dulu ya..!” pinta Aline. “Emm... bukannya menolak tawarannya nih Line, tapi kakak mau anter Arga pulang,.. mamanya pasti nyariin, insyaAlloh kapan-kapan kakak mampir” terang Dimas. “owh.... ok dech, salam buat mama Arga ya kak, maaf udah bikin kaki Arga luka” pesan Aline. Dimas tersenyum seraya mengucapkan salam sebelum pergi. “Dada kak Aliiine....” kata Arga sambil tertawa riang.

Aline memasuki rumah dengan hati bahagia, akhirnya bisa kenal dengan Dimas tanpa harus bertanya pada mamanya. “Hmm... nanti dikira suka lagi, orang cuma penasaran doank ko” gumam Aline. Diletakkannya buku yang baru saja dibelinya, baru saja membuka daftar isinya, tiba-tiba ponselnya berbunyi,,, lagu innocence nya Avril Lavigne mengalun indah, terlihat dilayar hpnya “Widy Calling”... “Hallo, ad apa Wid?” tanya Aline tanpa basa-basi, “Line, BT nech... jalan yuk..!” ajak Widy. “Loch emangnya si Indra kemana? biasanya tiap hari minggu kalian liburan?” tanya Aline lagi. “Dia lagi pergi ke rumah neneknya” jawab Widy, “ok deh, aku izin mama dulu, ajak Alysa juga ya..! barusan dia sms ada masalah” pinta Aline. “Masalah apa Line?” tanya Widy. “Entahlah, Alysa belum cerita dan akupun belum sempet bales smsnya.”

Seperti biasa Ibu Wine akan mengizinkan putrinya pergi jika bersama kedua sahabatnya itu dengan syarat tidak lewat jam 21.00 wib, mereka bertiga pun sampai disebuah taman kota. Duduk dikursi yang tersedia disepanjang jalan, memilih tempat yang agak sepi supaya mereka bebas ngobrol bertiga tanpa ada yang lalu lalang, biasanya sepasang kekasih yang sedang berjalan bergandengan sambil bercanda, entah apa yang dibicarakannya. Mereka memang mempersiapkan beberapa jenis makanan untuk menemani ngobrol malam ini. Tapi dari tadi tak terdengar tawa Alysa disepanjang perjalanan “Alysa, kamu ga seneng jalan sama kita?” tanya Aline membuka percakapan diantara ketiganya. Alysa hanya tersenyum, senyum yang seolah dipaksakan. “kamu kenapa Icha? Ada masalah?” Widy sengaja memanggil nama kecil Alysa, berharap Alysa bisa terbuka pada kedua sahabatnya. Lagi-lagi Alysa hanya diam, perlahan bola matanya mulai memerah dan air mata yang tak tertahankan mulai membanjiri kedua pipinya. Aline memeluk Alysa, “Icha, menangislah..! jika itu bisa bikin kamu lega. Hampir sepuluh menit Alysa menangis di pelukan Aline, setelah merasa cukup lega, Alysa melepaskan pelukannya.

“Yudha mutusin aku...” ungkap Alysa sedih. “Ko’ bisa?” kompak bagai tim obade Aline dan widy bertanya.  “ga tau.... dia hanya bilang kalau hubungan kita udah ga bisa diterusin lagi, selama ini aku udah berusaha ngertiin keadaan Yudha, aku tau dia sibuk dengan pekerjaannya, ngumpul dengan rekan kerjanya, aku nerima ga dapat banyak perhatian darinya, aku nerima meski aku ga pernah jadi diriku sendiri di hadapan teman-temannya, berusaha menjadi gadis dewasa yang seumuran dengan mereka, menjaga sikapku, tawaku dan manjaku supaya Yudha ga malu punya pacar sepertiku. Tapi... ya ini hasilnya” terang Alysa.

Aline dan Widy saling pandang, bermaksud untuk menghibur Alysa tapi bingung harus bicara apa. “Icha, kamu terlalu istimewa untuk Yudha, gadis sebaik kamu seharusnya mendapatkan laki-laki yang baik pula” Widy mencoba menanggapi Alysa. Diantara tiga sahabat ini memang hanya Widy yang mempunyai sikap dewasa, selama ini hanya dia yang bertahan dengan satu cinta pada Indra, entah karena sudah cocok atau memang Widy sudah terlanjur cinta pada Indra, tapi Indra memang lelaki yang baik, keluarga Widy sudah sangat dekat dengan Indra. Bisa dibilang hubungan mereka sudah mendapat lampu hijau dari kedua orang tua Widy. Sementara Aline yang merasa berkali-kali putus hanya diam saja untuk masalah ini.

Aline mengambil tiga kaleng minuman dan beberapa makanan kecil untuk mereka, setelah Alysa merasa baikan mereka pun berbagi cerita masing-masing, dengan begitu bisa saling memberikan solusi atas masalah masing-masing, begitu juga Aline yang akhirnya menceritakan siapa Fadhil, apalagi satu bulan ini mereka sering chatting dan semakin lebih dekat. Bahkan sudah bertukar nomor handphone.

“Ga salah Line, pacaran sama orang seperti Fadhil?” tanya Alysa. “yang salah tuch bukan Aline, tapi Fadhilnya apa ga salah mau pacaran sama Aline” timpal Widy. “Hmmm,,,, kalian kan tahu sendiri, selama ini aku asal trima aja, aku ga pernah suka sama mereka. Bahkan ketika aku harus jadian sama pak Albert guru fisika itu. Alasan aku supaya nilai fisikaku ga berantakan itu aja hehe...” kelit Aline. “Tapi, Fadhil beda.. dia memang menunjukkan perhatiannya padaku, tapi ga seperti kebanyakan cowo lain, sepertinya dia tulus, dia juga ga terang-terangan bilang suka, cinta atau rayuan gombal sejenis apalah itu... yang bisa bikin aku malah ilfeel, apalagi dia mengajar ngaji anak-anak, aku yakin dia lebih baik daripada yang lain” lanjut Aline

“Owh... dia ustad Line?” tanya Alysa. “Aku ga tau Cha, yang aku tau ya sebatas itu. Tapi aku pernah panggil dia ustad, dia ga berkenan, katanya belum pantes dipanggil seperti itu” terang Aline.  “Ok, kita tunggu perkembangan selanjutnya aja dari sahabat kita ini, mudah-mudahan dia bisa berubah jadi lebih baik” lanjut Widy sambil cengar-cengir.

            Asyik berbagi cerita hingga tak sadar waktu sudah hampir pukul 21.00 wib. “pulang yuk..!” ajak Aline. Kedua sahabatnya pun menurutinya. Kali ini Aline yang harus menyetir, sementara Widy sibuk mencari kaset yang bagus untuk di putar, tapi ga ada yang cocok. Matanya melihat sebuah buku terletak  didekat kemudi. “Line,,, novel baru?” tanya Widy. “novel apa Wid?” timpal Alysa. “Hm, iya. Aku baru membelinya sore tadi. Belum sempet baca lagi, tapi kayaknya bagus” jawab Aline.

            “Ketemu mas Ayyas donk?” goda Widy. “Iya tuh, pasti Aline mah ga niat beli bukunya tapi mau lihat mas Ayyas nya” lanjut Alysa. “Eh, kalian berdua apaan sih, engga ko’, emang mau cari novel aja, suntuk kan liburan dirumah ga ngapa-ngapain, paling Facebookan, chattingan, main game, habisnya bantuin nyokap masak malah diledekin mulu gara-gara kebanyakan masukin garam hufth.... ya udah, cari hiburan lain aja” jawab Aline.

            “Makanya punya pacar, biar ga suntuk dirumah” kata Widy. “kalau Aline punya pacar, aku donk yang kesepian” Alysa terlihat sedih ingat Yudha. Aline tertawa kecil. “Atau jangan-jangan kamu udah jadian lagi sama mas Ayyas Line?” tuduh Widy. “Hust, sembarangan kalau ngomong, siapa bilang.. orang cuma temen doank” jawab Aline. “ga apa-apa lagi Line kalau kamu suka mah?” jawab Widy. “Iya Line, mas Ayyas juga ganteng ko” tambah Alysa. Aline hanya tersenyum menanggapi kedua sahabatnya. Memang sejak putus dari David 6 bulan yang lalu, Aline mulai berubah. Aline takut punya cowo seperti David lagi, yang hanya memanfaatkan Aline semata. Cowo yang hampir merusak masa depan Aline, makanya Aline seperti trauma dengan pacaran. Dengan mengenal Fadhil yang pribadinya santun dan lembut sangat bertolak belakang dengan David, Aline berharap Fadhil benar-benar cowo yang baik. Aline terdiam untuk beberapa saat karena ingat masa lalu, tapi tak lama Alysa mengagetkannya dengan menanyakan judul buku Aline yang ada di tangan Widy.

Aline sampai di rumah setelah mengantarkan Widy dan Alysa pulang, rumah mereka tak terlalu jauh, butuh beberapa menit saja berjalan kaki.

            Aline tak dapat memejamkan matanya padahal malam telah larut, akhirnya memutuskan untuk membuka laptopnya, ternyata ada beberapa pesan dari Fadhil. Meski Fadhil tak pernah menyatakan cintanya pada Aline, tapi hubungan mereka sudah seperti seorang pacar, hanya bedanya belum pernah ketemu, tidak jalan setiap malam minggu seperti kebanyakan ABG lainnya, jarang sms atau telpon, pesan Fbnya pun hanya sekedar menanyakan kabar dan aktifitas apa yang dijalani seharian ini. Aline justru merasa nyaman dengan Fadhil tak pernah memaksakan kehendaknya, sikapnya dewasa. Itulah yang membedakan Fadhil dengan cowo lainnya.

            Sungguh Aline telah dibuat mencintai seorang Fadhil meski belum tahu bagaimana aslinya, Fadhil memang sudah mengirimkan foto via email, dan Aline sudah mencetaknya.  Pacaran yang aneh, tak pernah ada kata “I Love You, I miss You, I Need You” kata-kata yang sering diucapkan oleh pacar-pacar Aline sebelumnya. Aline bahkan sampai bosan mendengar rayuan-rayuan seperti itu. Fadhil memang apa adanya, selama ini hanya sekali dia bilang sayang pada Aline, dan Aline penasaran kenapa Fadhil jarang sekali mengucapkan kalimat-kalimat yang cowo lain sering katakan pada orang yang dicintainya. Namun Fadhil hanya tersenyum dan enggan menjawabnya. Justru dengan begitu Aline tak pernah bosan pada Fadhil, sekali saja Fadhil mengucapkan kata sayangnya untuk Aline, Aline merasa bahagia sekali. Yah, itulah... karena jarang Fadhil mengucapkan kata itu. Jadi terasa istimewa mendengarnya. Tapi bukan berarti Fadhil tak suka pada Aline, Dia pemuda yang tau etika, dia tak ingin menodai kesucian cintanya dengan nafsu. Tak ingin merusak gadis yang di sayanginya, tak ingin menyentuhnya sebelum halal baginya. Butuh waktu yang tepat untuk menjelaskan pada Aline tentang semua itu, karena Aline belum tentu bisa menerima alasan Fadhil.

            Sungguh baru pertama kali Aline mengenal laki-laki seperti Fadhil, dirasakannya cinta yang berbeda dari sebelumnya. Jika dulu Aline hanya bermain-main dengan cinta, kini dia benar-benar menjaga cinta itu.

            Hubungan mereka berjalan dengan baik-baik saja, dan bisa beberapa kali bertemu dengan ditemani oleh Alysa dan Widy. Pertemuan singkat namun cukup membuat Aline tersenyum simpul demi melihat kekasih hatinya ternyata sangat menjaga pandangannya. Awalnya Aline berfikir apakah sanggup berpacaran dengan orang seperti Fadhil, sementara dirinya tak begitu faham dengan syari’ah Islam.

            Hampir setengah jam Fadhil hanya menundukkan kepalanya, bahkan dia asyik memainkan jari-jari lentik anak kecil berumur 5 tahun yang tengah duduk dipangkuannya kala itu. Tanpa berani memandang Aline walau sejenak. Dan pada pertemuan terakhirnya Fadhil pun berpesan pada Aline untuk mulai mengenakan jilbab, menutup auratnya. Ya, pertemuan terakhir karena Fadhil harus mendaftarkan diri di salah satu universitas di Kairo atas beasiswa.

            Satu tahun menjelang Ujian Nasional siswa SMA, Fadhil pulang ke Indonesia. Selain melepas rindunya pada keluarga tercintanya, Fadhilpun menemui Aline. Kebahagiaan yang tak terkira oleh Aline, karena Fadhil tak memberi tahu sebelumnya. Tak bosan-bosannya Fadhil mengingatkan agar Aline mau mengenakan jilbab, Fadhil juga membantu menyelesaikan beberapa tugas-tugas sekolah Aline, pada kesempatan itu satu lembar surat di selipkan dalam ransel kecil milik Aline, entah apa isinya.

            Hanya sepuluh menit mereka bicara, menurut Fadhil itu sudah lebih dari cukup, Fadhil tak ingin berlama-lama menatap wajah gadis cantik yang belum halal baginya, lain dengan Aline yang masih ingin melepas rindunya setelah setahun tak bertemu, dan lagi-lagi Fadhil harus menjelaskan untuk kesekian kalinya. Akhirnya Aline mulai mengerti tentang syari’ah Islam, meski belum sepenuhnya faham.

            Bagaimanapun Fadhil, dia tetaplah manusia biasa yang kadang tak mampu memenangkan logika atas perasaan. Pemuda jaman sekarang jarang dijumpai yang bisa seperti Fadhil, jika menjalani hidup sesuai syari’ah dan ajaran Islam malah di cemooh, dibilang sok alimlah, gengsilah, sombong dan sebagainya.

            Tak ubahnya masyarakat Indonesia yang menganggap pacaran adalah hal yang wajar dan biasa, di sepanjang taman-taman kota, monas, ancol dan tempat-tempat lain seperti mall sering kita jumpai sejumlah abg dengan santainya bermesraan dimuka umum tanpa ada rasa malu sedikitpun.  Itulah negara yang kita banggakan. Mayoritas berstatus muslim namun tak menjalankan aturan-aturan Islam. Entahlah, mau jadi apa bangsa ini...? Pengusaha Indonesia memfasilitasinya dengan membuka tempat karaoke  yang kebanyakan pengunjungnya pemuda-pemudi dan bukan mahrom, hotel yang jika ingin menginap bersama pasangan tidak ditanyakan identitas jelas apakah mereka suami istri atau bukan, discotik yang menyediakan minuman haram dll. Sungguh, sangat memprihatinkan...
             
            Mau dibawa kemana bangsa ini...???!!

            To be continued


LOVE IN FACEBOOK "Surprise"


Love in Facebook

1. Surprise

Aline Anindhita Ramadhani seorang gadis yang tengah ada di dunia SMA, terlihat begitu lelah setelah mengikuti beberapa kegiatan ekskul sepulang sekolahnya. “Mbok....! mbok Marni...!!! dipanggilnya seorang pembantu yang setia mengabdi pada keluarganya selama 21 tahun itu dengan suara yang keras dan memekakkan telinga. Begitulah watak dara yang belum genap berusia 17 tahun itu, kurang beretika meskipun ibu Wine sang mama selalu menegur karena sikapnya yang kelewatan. Tapi anehnya sikap itu hanya berlaku pada orang-orang terdekatnya. Tak salah jika banyak yang mengira bahwa Aline itu anaknya sopan dan pemalu... (hihihi... salah buanget tuch...)

“ Mbok Marni, mama mana? Ko’ sepi banget sih? Papa juga kemana? Pasti belum pada pulang ya, hufth....Mas Vitra pasti ga pulang lagi? oh iya mbok, hari ini masak apa? Aku dibikinin bebek goreng sambal terasi kan mbok? Bikinin aku jus donk!!! haus banget nih” pinta Aline dengan manja pada mbok Marni. “Mau minta bikinin jus saja pake nanya ini itu sampai si Mbok bingung mau jawab yang mana dulu non”, jawab Mbok Marni dengan logat Jawanya yang masih kentel. Mau pa...”baru mbok Marni mau bertanya Aline sudah menyela “ga pake lama yuaaah mbok”!!! sela Aline. Mbok Marni hanya mengelus dada sambil beristighfar beberapa kali. Walau bagaimana pun mbok Marni sangat menyayangi gadis itu, dia satu-satunya putri Ibu Wine dan Pak Julian, sementara yang dia panggil dengan sebutan mas Vitra adalah saudara sepupunya tepatnya adalah anak dari omnya.

Aline menutup pintu kamarnya, duduk dan menyalakan laptopnya dibukanya program facebook. Aline mulai mengetik alamat emailnya, aline.gokilsedunia@gmail.com dengan pasword (hahahihi) ada-ada saja kan??? Asyik cathing via obrolan di FB membuatnya lupa waktu untuk sholat ashar hampir habis bahkan kadang-kadang dia meninggalkan sholat dengan alasan lupalah, ketiduran karna kecapeanlah, kecuali kata malas karena dia tahu sifat kedua orang tuanya tidak akan memberi ampun jika Aline meninggalkan apa yang sudah jadi kewajibannya hanya dengan sebuah kata “malas”. Tetapi seorang Aline selalu saja bisa berkelit menghadapi berbagai cecaran pertanyaan orang tuanya, tidak hanya kedua orang tua dan keluarganya, teman-teman Aline pun selalu di bikin kesal ketika ada materi diskusi di sekolah dan Aline akan berbangga hati ketika melihat teman-temannya mati kutu mendapat serangan pertanyaannya, Aline memang suka bikin ulah, tapi dia adalah gadis yang pintar, sedikit galak sih memang.. wajahnya cantik, postur tubuhnya tinggi, kulitnya putih, hidungnya mancung, bibirnya merah meski tanpa polesan lipstick, rambutnya yang lumayan panjang selalu dikuncir kuda, padahal akan lebih terlihat anggun bila dibiarkan tergerai, anak orang kaya pula. Tak ayal bila banyak guru dan pengajar ekskul memperlakukannya secara istimewa bahkan ada beberapa staf pengajar yang masih single menaruh hati pada Aline sejak PSB.

Banyak teman baru, tapi Aline masih tetap merasa sepi. Dia memang mempunyai hampir semuanya. Apapun yang ia mau pasti didapatkannya, tinggal di rumah yang fasilitasnya bisa dibilang lengkap. Hanya saja kedua orang tuanya sibuk dengan berbagai urusannya dan kakak sepupunya yang beberapa bulan ini lebih sering mengikuti kegiatan diluar jam kuliahnya. Vitra memang tinggal dirumah Aline tapi dia tidak ingin merepotkan keluarga Aline, uang kuliahnya didapatkan dari hasil kerja part time di sebuah Restoran sebagai witers. itulah yang menyebabkan Aline sering merasa kesepian. Hanya mbok Marni yang selalu ada kapan pun Aline butuhkan.

Belakangan ini Aline terlihat bersemangat membuka sebuah forum diskusi dengan tema “Cinta” oleh teman FB nya yang bernama Fadhil Ahmad Wildan, siapapun Fadhil Aline tidak peduli yang ia pedulikan bagaimana bisa dia membuat orang lain dapat mengerti makna cinta yang sesungguhnya, bukan hanya cinta pada seorang kekasih yang selama ini sering di elu-elukan anak muda. Tak heran jika program itu diikuti ribuan orang. Karena penasaran dibukanya profile, wall, dan beberapa informasi tentang Fadhil, ternyata banyak pula yang memberikan jempol pada beberapa status Fadhil.
Dibacanya status Fadhil

 “Aku mencintaimu dengan dua cinta
  Cinta kepadamu dan cinta kepada-Nya
  Aku mencintaimu dengan dua cinta
  Cinta karenamu dan cinta karena-Nya
  Maka...
  Kan ku raih cintamu tuk dapatkan cinta-Nya
  Semoga.. Amiin...!!!


“Wuiih...jempol teruuuss....”kata Aline, “Seandainya di FB ada jari kelingking aku kasih tuh kelingking bekas upil wkwkwkwkwk”......sembari ketawa-ketiwi dan minum juz mangga buatan mbok Marni, Aline nyerocos sendirian. “Comment ah.. Aline mengomentari status fadhil “Mau kawin ya pak ustad Fadhil? puitis buangeet ciih...sama aku ajah yach, dijamin dech ga rugi hehehe...” tulis Aline sekenanya, dari situlah awal kedekatan mereka meski hanya di dunia maya dan bukan keakraban sebagai seorang sahabat diantara mereka karena Aline sering melontarkan pertanyaan yang ceplas ceplos[1] kadang membuat Fadhil memutar otak untuk menjawabnya. Untung saja tidak saling melihat satu sama lain jadi tidak kelihatan kalau satu sama lain saling kesal karena dua-duanya tidak ada yang mengalah mengakhiri perdebatan,  Aline yang tidak mudah puas dengan jawaban Fadhil dan Fadhil yang selalu mencari cara bagaimana bisa menjelaskan pada Aline yang jelas-jelas super ngeyel itu. Meski begitu Fadhil mengagumi paras ayunya Aline dalam foto FBnya, tapi Aline? Tak satupun foto yang ada di FB Fadhil membuat Aline bertanya-tanya seperti apa sih Fadhil itu? Pernah dia berfikir bahwa muka Fadhil tak lebih baik dari pemikirannya. “Jangan-jangan Tablo[2] lagi makanya dia ga berani nampangin tuh muka, lain ama otaknya yang sok cerdas, atau mungkin dia Gitong[3] kali ya??? wkwkwkwk.....”

Selama ini Aline susah untuk berbaik sangka pada orang lain bahkan pemikiran tentang Fadhil pun pernah disampaikannya terang-terangan pada Fadhil. Fadhil hanya tersenyum di seberang sana, dan dia lebih senang membuat Aline penasaran seperti itu.

Fadhil pemuda berusia 18 tahun ini mempunyai aktivitas mengajar ngaji di sebuah masjid di kompleks rumahnya, tidak ada anak kecil yang tidak mengenal Fadhil, sampai orang tua pun sangat senang dengan Fadhil yang baik, ramah, sopan, cerdas, tampan dan dermawan. Dia memang bukan anak orang kaya, namun justru kesederhanaan itulah yang menyebabkan Fadhil banyak dikagumi oleh banyak orang, termasuk teman-teman sekolahnya. Fadhil menjabat sebagai ketua osis, selama dua tahun menjadi Bantara di kegiatan Pramuka karena kelas tiga sudah harus fokus mengikuti pelajaran untuk persiapan ujian tahun depan. Jabatan osis pun akan ia tanggalkan setelah satu semester depan, sekarang ia akan menyeleksi siswa-siswi yang layak untuk jadi ketua osis.

Pagi itu tak seperti biasanya wajah Aline begitu muram dan kurang bersemangat, sarapan pagi yang dibuatkan mbok Marni rupanya tak bisa membuatnya ceria, biasanya masakan mbok Marni adalah obat dari segala kegundahannya. Dulu berada dipelukan mamanyalah ia merasa aman dari segala yang akan membahayakan baginya tapi tidak untuk sekarang, Ibu Wine terlalu sibuk dengan berbagai macam pekerjaan kantornya. “Ternyata mama dan papa benar-benar lupa, nanti malam kan hari specialku masa mereka engga ingat sama sekali? Aku ini anaknya bukan sih?” pikir Aline keras.

Dengan langkah gontai ia meninggalkan ruang makan. Aline duduk di kursi depan rumah menunggu Alysa menjemputnya ke sekolah, tidak lama kemudian terlihat sebuah Avanza memasuki halaman rumahnya. Aline pun bangkit menyongsong dan nyelonong duduk disamping Widya.
“ Itu muka kenapa non, kaya dompet ajah dilipet gitu?” tanya Widya Rahma Putri yang akrab dengan panggilan Widy, sementara Alysa Dwi Anjani yang kerap disapa Alysa disekolah berkonsentrasi dengan kemudinya. “ Lagi dapet”, jawab Aline sekenanya. “ooowhh....” kompak Widy dan Alysa ber oowh ria disusul dengan tawa dari keduanya.

Setelah keberangkatan Aline ke sekolah ibu Wine dan pak Julian keluar dari kamarnya, karena memang sengaja menunggu Aline tidak dirumah. Hari itu mereka cuti kerja hanya untuk menyiapkan pesta yang akan diadakan nanti malam untuk putrinya tercinta. Bahkan akan memberikan kado special untuk putri kesayangannya itu, selain ticket liburan ke Bali selama satu minggu setelah ujian semester genapnya nanti Ibu Wine akan mengurangi jam kerjanya selama 2 jam per hari jadi bisa pulang lebih awal dari biasanya, dan untuk sabtu-minggu full dirumah untuk menemani Aline.

Jam 15.30 WIB setelah mengikuti beberapa kegiatan ekskul adalah waktu Aline untuk pulang tapi mendadak Widy minta di anter ke toko buku.  Alysa tidak ketinggalan aksi, begitu Widy puas mendapatkan apa yang dicarinya, segera mereka meluncur ke pusat perbelanjaan untuk mencari gaun, Aline hanya diam saja memperhatikan tingkah mereka, bahkan mereka seolah tak ingat bahwa nanti malam adalah ulang tahun Aline sahabatnya. Dengan penuh rasa kesal Aline hanya mengangguk ketika Widy dan Alysa bertanya ini itu padanya. Aline semakin sedih begitu matanya tertuju pada gaun putih sebatas lutut dengan motif coklat tua dibagian sisi-sisi lengan dan bagian ujung dari gaun, tidak terlalu banyak motif  lebih tampak simple dan elegan. Ingin sekali Aline membelinya tapi diurungkan niatnya, bukan karena tidak memiliki cukup uang tapi karena Aline yakin tidak akan ada pesta perayaan ulang tahun untuknya kali ini.

Ternyata kedua sahabatnya memperhatikannya tengah mengamati gaun tersebut. “kamu suka Line?” tanya Widy mengagetkan Aline. Aline hanya tersenyum kecut dan menggelengkan kepala membohongi perasaannya, namun bukanlah sahabat jika Widy dan Alysa tidak mengerti dengan jawaban Aline. Rasa kasihan pun menyelinap dihati keduanya, ingin rasanya mereka bilang bahwa kepergian mereka saat ini untuk mencari sesuatu yang akan dipersembahkan pada Aline nanti malam. Dan orang tuanya sengaja menelpon mereka berdua untuk mencegah kepulangan Aline sampai malam tiba. Tapi karena sudah terlanjur janji pada orang tua Aline mereka pun tetap pada komitmen untuk tidak memberi tahu Aline.

Setelah puas berkeliling, makan dan sempat mampir ke sebuah Masjid untuk sholat maghrib, akhirnya mereka pun pulang menuju rumah Aline.  Sepanjang perjalanan Aline diam seribu bahasa, entah apa yang dipikirnya. Ingin rasanya segera sampai dikamarnya dan menumpahkan semua airmata yang sedari tadi ditahan olehnya. Aline memang terlihat tegar di depan semua orang selalu tertawa riang seolah tiada beban, hanya di hadapan kedua sahabatnyalah dia mengungkapkan isi hatinya karena Aline yakin mereka bisa membantunya. Tapi saat ini Aline benar-benar tidak ingin berbagi kesedihannya pada siapapun.

Belum habis kesedihan Aline, ban belakang mobil Alysa kempes sampai akhirnya harus masuk bengkel dan terpaksa ganti ban. Terdengar Aline mendengus karena dari siang kedua sahabatnya itu seolah sengaja membuatnya kesal, Aline pun memilih duduk dibangku sementara Alysa dan Widy sibuk bercakap-cakap dengan beberapa pekerja di bengkel itu. Tak ayal kalau kedua sahabatnya itu kecantol[4] sama anak pemilik bengkel, orangnya ramah dan lumayan manis. Diam-diam Aline juga melirik kearahnya, namun sial bagi Aline ketika pandang mata mereka bertemu cepat-cepat Aline mengalihkan pandangannya. Mukanya mulai bersemu merah karena malu. Hatinya berdesir ketika melihat senyum manisnya. Hampir setengah jam Aline menunggu, dan tak lama setelah itu pemasangan ban pun selesai, Aline cepat-cepat mengajak keduanya pulang. Alysa dan Widy masih ingin berlama-lama di situ. Terlihat dari raut mukanya yang merengut ketika Aline menggaet masing-masing  lengan keduanya.

Hanya sepatah kata yang diucapkan Aline untuk orang yang mengaku sebagai anak dari pak Bram pemilik  bengkel langganan orang tua Aline ketika berpamitan yakni kata “terimakasih” itupun dengan pandangan menunduk dan tergesa karena malu ketika mengingat kejadian tadi. Sementara kedua temannya berjabat tangan dan Aline tak tahu mereka menanyakan apa lagi, namun terdengar cowo itu menanyakan Aline. Setelah prosesi tanya jawab yang diperankan oleh Alysa dan Widy dengan topik dan tema ga jelas  pada pemilik bengkel itu akhirnya mereka bertiga pun masuk mobil dan mulai menjalankan mobilnya. Diiringi tawa renyah Alysa dan Widy.

“Ternyata namanya adalah Dimas,” gumam Aline. Anak tunggal dari pemilik bengkel “Jaya Abadi”. Dia adalah orang yang sering diceritakan oleh mamanya, ternyata apa yang dibilang mamanya hampir seratus persen benar. Orangnya cakep, ramah, rajin dan tak pernah merasa rendah meski harus membantu bekerja di bengkel bersama dengan karyawan-karyawan orang tuanya padahal dia masih berstatus sebagai Mahasiswa di sebuah Universitas swasta yang terkenal elite. Aline semakin mengagumi sosok Dimas.

Mobil melaju dengan cepat, rumah Aline terlihat begitu sepi seperti tidak ada orang sama sekali, tapi Aline hanya berpikir kalau orang tuanya hari ini lembur dan akan pulang larut, hal itu sudah biasa. Setelah turun dari mobil, “sepi amat Line?” tanya Alysa, he’em...Widy menambahkan. “mungkin mama papa belum pulang kali”, jawab Aline

“Line, aku kebelet pipis numpang ke kamar mandi ya!” Pinta Alysa sambil mencubit lengan Widy..Widy yang tidak mempersiapkan alasan kelabakan[5] sendiri dan ikut-ikutan nyeplos[6], emm..eh iya Line, aku kangen sama mbok Marni, aku mau mampir sebentar boleh kan? “ hah??? Spontan Aline dan Alysa kaget. “Sejak kapan kamu suka sama mbok Marni?” tanya Aline sambil cekikikan..amarah yang ada dibenaknya hampir hilang karena tingkah Widy, “emm itu lho Line, kangen sama jus bikinan mbok Marni maksud aku”. Kelit Widya. “Owh....” kompak Aline dan Alysa mengulangi sesuatu yang biasa diucapkan apabila mendengar suatu penjelasan.

Dengan langkah santai Aline melangkah dari garasi, sementara Aysa dan Widy hanya mengekor dari belakang dan saling menyalahkan. Rumah Aline kali ini bukan hanya terlihat sepi, ketika Aline beberapa kali memencet bel tak terdengar sedikitpun langkah mbok Marni berlari-lari kecil membukakan pintu untuknya, setelah puas menunggu, Alysa kembali beracting seolah dia benar-benar kebelet ingin ke kamar mandi sehingga Aline mencoba untuk mengetuk pintu, tapi aneh pintu tidak terkunci dan ruang tengah begitu gelap, Aline semakin bingung dan takut terjadi apa-apa dengan mbok Marni pastilah kedua orang tuanya akan menyalahkan Aline karena keluyuran terus.

 “Aku ga tau ma, pas aku pulang tiba-tiba rumah udah ga dikunci ko’ kalau ga percaya tanya aja Widy sama Icha”, ucap Aline beralasan, sementara Ibu Wine tetap menyalahkan Aline dengan berbagai alasan “mama tau itu, tapi itu salah kamu kenapa pulang sampai larut malam begitu, kamu ga kasihan sama mbok Marni, ternyata begini ya kelakuan kamu kalau ga ada mama papa dirumah, berani kelayapan kemana-mana, kamu itu seorang pelajar, kewajiban kamu itu ya belajar dirumah, bukannya main-main dan keluyuran ga jelas”, Ibu Wine menegurnya. “Hufth...belum habis imajinasi Aline membayangkan sang Mama akan memarahinya habis-habisan, tangan Aline yang mencari-cari stop kontak hampir menemukannya tiba-tiba sebuah tangan memegang pergelangan tangannya, tenggorokan Aline tercekat karena kaget bercampur takut, Aline tak bisa berpikir , dengan pasrah dia mengikuti orang yang menarik tangannya perlahan menuju ruang tengah, sementara Alysa dan Widy tak terdengar suaranya sama sekali “mungkinkah?”... pikir Aline, sampai akhirnya dengan suara serak Aline memberanikan diri untuk bicara “ss..siapa kamu?” tanya Aline setelah mampu menguasai diri dan keadaan tapi orang itu diam tak menjawab pertanyaan Aline sedikitpun, Aline semakin geram “hei, kamu tuh mau apa?” sedikit bicara Aline agak mengeras, sesampainya diruang tamu semua lampu menyala, terlihat diatas meja ada sebuah kue tart bertuliskan Happy Birthday Aline, 17 tahun, kemudian alunan lagu selamat ulang tahun menggema di seluruh penjuru ruangan, Aline menghambur ke pelukan mamanya dan menangis sejadi-jadinya. Dia menyesal telah menilai orang tua yang sangat dicintainya itu, berburuk sangka, bahkan menyangka kalau dia bukan anak kandungnya. Surprise.....! ternyata semua keluarganya berkumpul kedua orang tuanya, om dan tantenya, kakek dan neneknya yang harus jauh-jauh datang dari Semarang ke Jakarta, Aline begitu larut dalam suasana sukacitanya, setelah beberapa rangkain prosesi tiup lilin selesai Aline berjalan ke arah seorang pria yang duduk di pojok ruang keluarga, tanpa komando Aline langsung melayangkan tinju ke lengan pria itu, “auww...” jerit Vitra kakak sepupu Aline. Setelah itu Aline tersenyum dan menghambur kepelukan Vitra sambil marah-marah karena tega membuat Aline hampir pingsan gara-gara ketakutan, sebenarnya kalau Vitra sedikit saja bicara ketika Aline bertanya pada orang yang menarik tangannya ketika semua lampu dimatikan tadi, pastilah Aline mengenali suara Vitra.

Puas bercakap-cakap dengan Vitra, Alysa dan Widy nongol, mereka ketawa cengar-cengir tanpa dosa, keduanya meminta maaf atas semuanya sambil memberikan kado pada Aline. Aline segera membuka kado kedua sahabatnya itu, ternyata Widy memberikan sebuah novel yang selama ini dicari untuk melengkapi koleksi novelnya. Aline memang suka menulis, beberapa cerpen dan puisinya pun pernah di muat di sebuah koran harian dan beberapa majalah, ada yang meminta pula untuk segera di bukukan karya-karya Aline tapi karena belum ada atau emank ga mood[7] jadi Aline belum berniat untuk itu. Tiba giliran membuka kado dari Alysa ternyata sebuah gaun yang dilihatnya di Mall ketika berbelanja, Aline menerimanya dengan senang hati, “makasih ya Icha, widy...”! ucap Alysa dan dijawab dengan anggukan kepala dari keduanya.

“Line, mas ga bisa kasih kamu kado, maklum belum gajian hehe...” ucap Vitra. Yaaach...ko’ gitu mas, kan mas janji mau kasih aku kado kalau ulang tahun?” protes Aline. “Kadonya, liburan ke Bali nanti mas yang akan temenin kamu”, gimana?” ucap Vitra sengaja membuat Aline penasaran. “memangnya papa sama mama ngizinin aku liburan ke Bali mas?” tanya Aline seolah tak percaya, karena mamanya selama ini tidak pernah memberikan izin Aline berlibur ke Bali dengan alasan Aline seorang gadis, meski disana ada saudara sepupu dari mamanya tapi Ibu Wine belum rela melepas anak semata wayangnya pergi liburan ke Bali sendirian, kalau Vitra yang membujuk Pak Julian dan Ibu Wine pastilah diizinkan Aline berlibur ke Bali, Aline benar-benar bahagia malam ini. Selain pesta perayaan ulangtahun yang lain daripada tahun biasanya Aline mendapat surprise liburan ke Bali. Tapi sangat di sayangkan karena kedua sahabatnya memilih berlibur ke kota kelahirannya masing-masing nanti.

Semalaman Aline tidak tidur, sibuk membuka kado dari keluarga dan teman-temannya, Aline juga banyak mendapat kartu ucapan, apalagi di Fbnya banyak yang memberikan ucapan selamat dan berbagai komentar. “Degh.., dada Aline berdegub membaca pesan dari Fadhil, “rasanya aneh, padahal kan aku belum kenal sama orang ini tapi kenapa begini ya? akh.. masih terlalu dini untuk mengartikan aku suka sama dia” gumam Aline. Mungkin aku hanya mengagumi kecerdasannya, lagian sama sekali aku tidak mengenalnya, bahkan orangnya pun seperti apa aku belum tau” pikir Aline. “tapi mungkinkah?” hufth... Aline berusaha menepis perasaannya. Kali ini Aline menjawab pesan Fadhil dengan sopan tidak seperti biasanya. Aline merasa tidak selayaknya dia bersikap seperti itu pada Fadhil yang jelas-jelas tidak pernah punya salah terhadapnya, bahkan Fadhil tidak pernah marah dengan sikap Aline yang suka ceplas-ceplos kalau ngomong, tapi justru itu yang membuat Aline semakin penasaran dengan pria bernama fadhil itu. Dalam hati Aline menaruh sedikit harapan untuk dapat mengenal Fadhil lebih jauh lagi, paling tidak bisa bertatap muka dengannya.
Aline kesal dengan dirinya sendiri yang terus-terusan mengingat Fadhil, semakin ditepisnya rasa itu, semakin menjadi pula perasaannya, tapi anehnya kenapa wajah Dimas yang muncul dalam benaknya. Pikiran Aline semakin kacau.







 To be continued.....
















[1] Asal ngomong
[2] Tampang blo’on
[3] Gigi tonggos
[4] Tertarik/ jatuh hati
[5] Kebingungan
[6] bicara
[7] Malas