2. CINTA YANG
BERBEDA
Pagi ini Aline membantu mamanya memasak di
dapur, sementara mbok Marni bertugas membersihkan semua ruangan. Aline ingin
bertanya pada mamanya meski dengan perasaan yang entah apa namanya Aline pun
tak tahu. “mama,...mau masak apa ciih?” tanya Aline basa-basi. “kira-kira mau
masak apa kalau semua bahannya sudah ada di depan kamu”? jawab mamanya
menggoda. “Akh.. mama ini bisa aja, mama kan tahu kalau Aline belum pernah
masak sendiri,,, ehmm...ma...”, sejenak Aline berfikir bagaimana bisa dapat
keterangan tentang Dimas dari mamanya. Tapi diurungkan niatnya karena malu.
“Kenapa Line?” tanya Ibu Wine. “Aline hanya tersenyum dan menjawab “mama
cantik”...Ibu Wine pun tersenyum menanggapi kalimat putri tercintanya. “kamu
juga cantik sayang” lanjut ibu Wine. Mereka pun melanjutkan aktifitasnya.
Hari ini hari libur, Aline duduk dan
menyalakan laptopnya, seperti biasa jika ada waktu luang Aline akan
menyempatkan membuka Facebooknya untuk sekedar update status, atau membalas
pesan dari teman-temannya, meski tak sedikit yang ingin mengajaknya chatting,
namun jarang ditanggapinya. Dibacanya status Fadhil :
“Orang
sukses bukan karena banyaknya prinsip yang ia punyai, tapi karena banyaknya prinsip yang sudah ia jalani”
Dalam hati Aline mengiyakan apa yang
dibacanya, dengan ragu-ragu Aline memberikan jempolnya untuk status Fadhil kali
ini.
Aline terus berfikir apa sebenarnya
yang tengah terjadi pada dirinya, keinginan untuk mengenal Fadhil begitu kuat,
namun begitu menyebut nama Fadhil bayangan Dimaslah yang selalu muncul. Dalam
hati ia berharap bahwa Dimas adalah Fadhil, tapi harapan itu hanyalah harapan
belaka karena Aline tahu betul bahwa Dimas adalah putra tunggal dari pak Bram
dan sudah kuliah, sementara Fadhil masih sekolah di SMA Tunas Bhakti. Jadi
jelas sudah bahwa Fadhil itu bukan Dimas.
Sore yang cerah ketika Aline
melangkahkan kaki hendak pergi ke sebuah toko buku yang berada tak jauh dari
rumahnya. Memang rumah Aline letaknya sangat strategis, dan di design secara
unik, perpaduan antara warna coklat kehitaman dan kuning emas serta tanaman dan
bunga-bunga yang ditata dengan rapi semakin membuat orang akan betah
berlama-lama tinggal dirumah itu. Semuanya diurus oleh Mbok Marni, sementara
kebun depan dan belakang rumah diurus oleh Mang Udin, Mang Udin adalah tukang
kebun keluarga Aline namun dia tidak tinggal di rumah Aline karena rumahnya
tidak terlalu jauh dan keluarganya pasti akan lebih membutuhkan Mang Udin,
terlebih istrinya yang baru saja melahirkan putra ke empatnya satu bulan yang
lalu.
“Aku mau beli buku apa ya?” pikir
Aline sambil berjalan. Tentu yang tidak akan ketinggalan pastilah novel, salah
satu penulis Indonesia yang sangat digandrunginya adalah Habiburrahman
El-Shirazy, beberapa karya tulisnya yang sangat bagus diantaranya Pudarnya
Pesona Cleopatra, Diatas Sajadah Cinta, KCB, Bumi Cinta sampai AAC yang rekornya mampu menyaingi Harry Potter
telah dibacanya, meski begitu Aline tetap membeli dan membaca novel-novel yang
penulisnya belum populer, bahkan novel yang kadang-kadang dijual di pinggir
jalan pun tak mengurangi minat Aline untuk membeli dan membacanya. Karena pada
dasarnya kemampuan seseorang menulis novel itu tidak tergantung pada ketenaran
penulisnya, tetapi pada hasil tulisannya, buktinya beberapa novel Ferry Irawan
AM, tidak kalah menariknya, “Saung Naga” cerita cinta bernuansa islami, yang
mampu membuat pembaca merasa menjadi tokoh yang ada di dalamnya, dan masih
banyak lagi karya-karyanya yang lain, hanya tinggal menunggu waktu saja untuk
para pembaca menyerbu Gramedia dan toko buku yang lainnya, novel ini memang
masih baru diterbitkan bulan Februari 2010 oleh Penerbit Pustaka El-Syarif.
“Sekalian buat perbandingan antara novel yang satu dengan yang lainnya”, begitu
menurut Aline. Dengan begitu kualitas tulisan Aline akan semakin lebih menarik,
meski masih dalam tahap belajar. Aline tersenyum kecil dan mengayunkan kakinya
lebih cepat karena terik matahari sore ini cukup membuat muka dan kulit
lengannya kemerah-merahan karena panas.
Setibanya di toko
buku, Aline sudah tak sabar untuk segera menyusuri rak-rak buku. “Line, cari
buku apa?” tanya Ayyas pemilik toko buku itu. Sebenarnya Ayyas punya lima
karyawan yang bertugas menjaga toko buku, dua orang SPG, satu orang kasir dan dua
orang bagian gudang. Namun Ayyas selalu ada setiap hari di sana untuk menerima
laporan hariannya, maklum Ayyas belum mendapatkan asisten yang cocok untuknya,
beberapa waktu yang lalu sempat ada namun kurang begitu bisa untuk diandalkan
sehingga Ayyas memberhentikannya. “Emm, ada buku baru ga Mas Ayyas?” Aline
menjawab dengan pertanyaan. “Buku atau novel?” tanya Ayyas kembali. “Dua-duanya
mungkin boleh dilihat dulu?” jawab Aline sembari memberikan senyuman
termanisnya pada Ayyas, senyuman yang membuat hati Ayyas berdebar tak karuan.
Ayyas pun berjalan mendekati rak buku khusus novel terbarunya bulan ini dan
menunjukkannya pada Aline. Sekali lihat Aline mulai tertarik dengan design
covernya, font huruf, perpaduan warna dan karakternya sangat kuat. “ The Music
Box of Love” begitu judulnya.
“Mas Ayyas, buku
ini sepertinya bagus.. berapa harganya?” tanya Aline. Bukannya menjawab
pertanyaan Aline malah Ayyas sibuk merhatiin muka Aline, “Subhanallah..” kata
Ayyas. Aline tersenyum bingung membuat Ayyas sadar dan cepat-cepat menguasai
dirinya. “Eh, Line.. tadi nanya apa?” Tanya Ayyas sambil tersenyum malu. Ayyas
memang menyukai Aline, tapi Ayyas belum bisa mengatakan perasaannya ke Aline,
takut Aline marah dan tak mengunjungi toko bukunya lagi. “Lebih baik bisa
melihatnya setiap saat, memperhatikannya, melihat senyumnya daripada kehilangan
pelanggan secantik Aline begitu pikir Ayyas. Hmm....
Setelah puas
mendapatkan buku dan harganya juga tak terlalu mahal, Aline pun pamit pulang,
tak lupa dia ucapkan terimakasih pada Ayyas. Ayyas tersenyum dan mengantar
Aline keluar pintu toko.
Sambil jalan
Aline sibuk memperhatikan buku yang baru dibelinya, rasanya sudah tak sabar
ingin tahu jalan ceritanya. Tiba-tiba... brugh.. aw.. Aline menjerit kecil,
bukunya terjatuh karena menabrak anak kecil yang sedang berlari.
Anak kecil itupun
meringis menahan sakit. Aline yang tadinya mau marah menjadi iba melihatnya.
“Adek ga apa-apa? Sini kakak bantu”. Kata Aline sambil mengulurkan tangannya.
Tak lama kemudian ada seorang laki-laki yang menghampiri mereka setengah berlari.
“Maafin adek saya
mbak..! kata laki-laki itu. Aline tercengang melihatnya. “Iya, ga apa-apa,
kamuu... karyawan bengkel itu kan?” tanya Aline seolah tak mengenal nama Dimas.
Dimas pun tersenyum mengiyakan.
“Gimana, kakinya
masih sakit Arga?” tanya Aline. “sedikit kak...” jawab Arga sambil meringis
menahan sakit. “ga apa-apa, anak laki-laki harus kuat, apalagi cuma karena
jatuh” timpal Dimas. Aline sudah lega karena Arga sudah bisa tersenyum setelah
diobati oleh seorang perawat. Mereka pun meninggalkan rumah sakit.
Disepanjang
perjalanan hanya ditemani celotehan Arga, sesekali Aline dan Dimas saling
menatap dan tersenyum. “Kak Aline cantik, baik lagi... Arga seneng ditemani kak
Aline, kapan-kapan Arga boleh main lagi ga sama kak Aline?” tanya Arga. “Aline
tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Tiba di depan pintu rumah Aline, “Arga
sama kak Dimas, mampir dulu ya..!” pinta Aline. “Emm... bukannya menolak
tawarannya nih Line, tapi kakak mau anter Arga pulang,.. mamanya pasti nyariin,
insyaAlloh kapan-kapan kakak mampir” terang Dimas. “owh.... ok dech, salam buat
mama Arga ya kak, maaf udah bikin kaki Arga luka” pesan Aline. Dimas tersenyum
seraya mengucapkan salam sebelum pergi. “Dada kak Aliiine....” kata Arga sambil
tertawa riang.
Aline memasuki
rumah dengan hati bahagia, akhirnya bisa kenal dengan Dimas tanpa harus
bertanya pada mamanya. “Hmm... nanti dikira suka lagi, orang cuma penasaran
doank ko” gumam Aline. Diletakkannya buku yang baru saja dibelinya, baru saja
membuka daftar isinya, tiba-tiba ponselnya berbunyi,,, lagu innocence nya Avril
Lavigne mengalun indah, terlihat dilayar hpnya “Widy Calling”... “Hallo, ad apa
Wid?” tanya Aline tanpa basa-basi, “Line, BT nech... jalan yuk..!” ajak Widy.
“Loch emangnya si Indra kemana? biasanya tiap hari minggu kalian liburan?”
tanya Aline lagi. “Dia lagi pergi ke rumah neneknya” jawab Widy, “ok deh, aku
izin mama dulu, ajak Alysa juga ya..! barusan dia sms ada masalah” pinta Aline.
“Masalah apa Line?” tanya Widy. “Entahlah, Alysa belum cerita dan akupun belum
sempet bales smsnya.”
Seperti biasa Ibu
Wine akan mengizinkan putrinya pergi jika bersama kedua sahabatnya itu dengan syarat
tidak lewat jam 21.00 wib, mereka bertiga pun sampai disebuah taman kota. Duduk
dikursi yang tersedia disepanjang jalan, memilih tempat yang agak sepi supaya
mereka bebas ngobrol bertiga tanpa ada yang lalu lalang, biasanya sepasang
kekasih yang sedang berjalan bergandengan sambil bercanda, entah apa yang
dibicarakannya. Mereka memang mempersiapkan beberapa jenis makanan untuk menemani
ngobrol malam ini. Tapi dari tadi tak terdengar tawa Alysa disepanjang
perjalanan “Alysa, kamu ga seneng jalan sama kita?” tanya Aline membuka
percakapan diantara ketiganya. Alysa hanya tersenyum, senyum yang seolah
dipaksakan. “kamu kenapa Icha? Ada masalah?” Widy sengaja memanggil nama kecil Alysa,
berharap Alysa bisa terbuka pada kedua sahabatnya. Lagi-lagi Alysa hanya diam,
perlahan bola matanya mulai memerah dan air mata yang tak tertahankan mulai
membanjiri kedua pipinya. Aline memeluk Alysa, “Icha, menangislah..! jika itu
bisa bikin kamu lega. Hampir sepuluh menit Alysa menangis di pelukan Aline, setelah
merasa cukup lega, Alysa melepaskan pelukannya.
“Yudha mutusin
aku...” ungkap Alysa sedih. “Ko’ bisa?” kompak bagai tim obade Aline dan widy
bertanya. “ga tau.... dia hanya bilang
kalau hubungan kita udah ga bisa diterusin lagi, selama ini aku udah berusaha
ngertiin keadaan Yudha, aku tau dia sibuk dengan pekerjaannya, ngumpul dengan
rekan kerjanya, aku nerima ga dapat banyak perhatian darinya, aku nerima meski
aku ga pernah jadi diriku sendiri di hadapan teman-temannya, berusaha menjadi
gadis dewasa yang seumuran dengan mereka, menjaga sikapku, tawaku dan manjaku
supaya Yudha ga malu punya pacar sepertiku. Tapi... ya ini hasilnya” terang Alysa.
Aline dan Widy
saling pandang, bermaksud untuk menghibur Alysa tapi bingung harus bicara apa.
“Icha, kamu terlalu istimewa untuk Yudha, gadis sebaik kamu seharusnya
mendapatkan laki-laki yang baik pula” Widy mencoba menanggapi Alysa. Diantara
tiga sahabat ini memang hanya Widy yang mempunyai sikap dewasa, selama ini
hanya dia yang bertahan dengan satu cinta pada Indra, entah karena sudah cocok
atau memang Widy sudah terlanjur cinta pada Indra, tapi Indra memang lelaki
yang baik, keluarga Widy sudah sangat dekat dengan Indra. Bisa dibilang
hubungan mereka sudah mendapat lampu hijau dari kedua orang tua Widy. Sementara
Aline yang merasa berkali-kali putus hanya diam saja untuk masalah ini.
Aline mengambil tiga
kaleng minuman dan beberapa makanan kecil untuk mereka, setelah Alysa merasa
baikan mereka pun berbagi cerita masing-masing, dengan begitu bisa saling
memberikan solusi atas masalah masing-masing, begitu juga Aline yang akhirnya
menceritakan siapa Fadhil, apalagi satu bulan ini mereka sering chatting dan
semakin lebih dekat. Bahkan sudah bertukar nomor handphone.
“Ga salah Line,
pacaran sama orang seperti Fadhil?” tanya Alysa. “yang salah tuch bukan Aline,
tapi Fadhilnya apa ga salah mau pacaran sama Aline” timpal Widy. “Hmmm,,,,
kalian kan tahu sendiri, selama ini aku asal trima aja, aku ga pernah suka sama
mereka. Bahkan ketika aku harus jadian sama pak Albert guru fisika itu. Alasan
aku supaya nilai fisikaku ga berantakan itu aja hehe...” kelit Aline. “Tapi,
Fadhil beda.. dia memang menunjukkan perhatiannya padaku, tapi ga seperti
kebanyakan cowo lain, sepertinya dia tulus, dia juga ga terang-terangan bilang
suka, cinta atau rayuan gombal sejenis apalah itu... yang bisa bikin aku malah
ilfeel, apalagi dia mengajar ngaji anak-anak, aku yakin dia lebih baik daripada
yang lain” lanjut Aline
“Owh... dia ustad
Line?” tanya Alysa. “Aku ga tau Cha, yang aku tau ya sebatas itu. Tapi aku
pernah panggil dia ustad, dia ga berkenan, katanya belum pantes dipanggil
seperti itu” terang Aline. “Ok, kita
tunggu perkembangan selanjutnya aja dari sahabat kita ini, mudah-mudahan dia
bisa berubah jadi lebih baik” lanjut Widy sambil cengar-cengir.
Asyik
berbagi cerita hingga tak sadar waktu sudah hampir pukul 21.00 wib. “pulang
yuk..!” ajak Aline. Kedua sahabatnya pun menurutinya. Kali ini Aline yang harus
menyetir, sementara Widy sibuk mencari kaset yang bagus untuk di putar, tapi ga
ada yang cocok. Matanya melihat sebuah buku terletak didekat kemudi. “Line,,, novel baru?” tanya
Widy. “novel apa Wid?” timpal Alysa. “Hm, iya. Aku baru membelinya sore tadi.
Belum sempet baca lagi, tapi kayaknya bagus” jawab Aline.
“Ketemu
mas Ayyas donk?” goda Widy. “Iya tuh, pasti Aline mah ga niat beli bukunya tapi
mau lihat mas Ayyas nya” lanjut Alysa. “Eh, kalian berdua apaan sih, engga ko’,
emang mau cari novel aja, suntuk kan liburan dirumah ga ngapa-ngapain, paling
Facebookan, chattingan, main game, habisnya bantuin nyokap masak malah
diledekin mulu gara-gara kebanyakan masukin garam hufth.... ya udah, cari
hiburan lain aja” jawab Aline.
“Makanya
punya pacar, biar ga suntuk dirumah” kata Widy. “kalau Aline punya pacar, aku
donk yang kesepian” Alysa terlihat sedih ingat Yudha. Aline tertawa kecil. “Atau
jangan-jangan kamu udah jadian lagi sama mas Ayyas Line?” tuduh Widy. “Hust,
sembarangan kalau ngomong, siapa bilang.. orang cuma temen doank” jawab Aline.
“ga apa-apa lagi Line kalau kamu suka mah?” jawab Widy. “Iya Line, mas Ayyas
juga ganteng ko” tambah Alysa. Aline hanya tersenyum menanggapi kedua
sahabatnya. Memang sejak putus dari David 6 bulan yang lalu, Aline mulai
berubah. Aline takut punya cowo seperti David lagi, yang hanya memanfaatkan Aline
semata. Cowo yang hampir merusak masa depan Aline, makanya Aline seperti trauma
dengan pacaran. Dengan mengenal Fadhil yang pribadinya santun dan lembut sangat
bertolak belakang dengan David, Aline berharap Fadhil benar-benar cowo yang
baik. Aline terdiam untuk beberapa saat karena ingat masa lalu, tapi tak lama
Alysa mengagetkannya dengan menanyakan judul buku Aline yang ada di tangan
Widy.
Aline sampai di
rumah setelah mengantarkan Widy dan Alysa pulang, rumah mereka tak terlalu
jauh, butuh beberapa menit saja berjalan kaki.
Aline
tak dapat memejamkan matanya padahal malam telah larut, akhirnya memutuskan
untuk membuka laptopnya, ternyata ada beberapa pesan dari Fadhil. Meski Fadhil
tak pernah menyatakan cintanya pada Aline, tapi hubungan mereka sudah seperti
seorang pacar, hanya bedanya belum pernah ketemu, tidak jalan setiap malam
minggu seperti kebanyakan ABG lainnya, jarang sms atau telpon, pesan Fbnya pun
hanya sekedar menanyakan kabar dan aktifitas apa yang dijalani seharian ini.
Aline justru merasa nyaman dengan Fadhil tak pernah memaksakan kehendaknya,
sikapnya dewasa. Itulah yang membedakan Fadhil dengan cowo lainnya.
Sungguh
Aline telah dibuat mencintai seorang Fadhil meski belum tahu bagaimana aslinya,
Fadhil memang sudah mengirimkan foto via email, dan Aline sudah mencetaknya. Pacaran yang aneh, tak pernah ada kata “I Love
You, I miss You, I Need You” kata-kata yang sering diucapkan oleh pacar-pacar Aline
sebelumnya. Aline bahkan sampai bosan mendengar rayuan-rayuan seperti itu.
Fadhil memang apa adanya, selama ini hanya sekali dia bilang sayang pada Aline,
dan Aline penasaran kenapa Fadhil jarang sekali mengucapkan kalimat-kalimat
yang cowo lain sering katakan pada orang yang dicintainya. Namun Fadhil hanya
tersenyum dan enggan menjawabnya. Justru dengan begitu Aline tak pernah bosan
pada Fadhil, sekali saja Fadhil mengucapkan kata sayangnya untuk Aline, Aline
merasa bahagia sekali. Yah, itulah... karena jarang Fadhil mengucapkan kata
itu. Jadi terasa istimewa mendengarnya. Tapi bukan berarti Fadhil tak suka pada
Aline, Dia pemuda yang tau etika, dia tak ingin menodai kesucian cintanya
dengan nafsu. Tak ingin merusak gadis yang di sayanginya, tak ingin
menyentuhnya sebelum halal baginya. Butuh waktu yang tepat untuk menjelaskan
pada Aline tentang semua itu, karena Aline belum tentu bisa menerima alasan
Fadhil.
Sungguh
baru pertama kali Aline mengenal laki-laki seperti Fadhil, dirasakannya cinta
yang berbeda dari sebelumnya. Jika dulu Aline hanya bermain-main dengan cinta,
kini dia benar-benar menjaga cinta itu.
Hubungan
mereka berjalan dengan baik-baik saja, dan bisa beberapa kali bertemu dengan
ditemani oleh Alysa dan Widy. Pertemuan singkat namun cukup membuat Aline
tersenyum simpul demi melihat kekasih hatinya ternyata sangat menjaga
pandangannya. Awalnya Aline berfikir apakah sanggup berpacaran dengan orang
seperti Fadhil, sementara dirinya tak begitu faham dengan syari’ah Islam.
Hampir
setengah jam Fadhil hanya menundukkan kepalanya, bahkan dia asyik memainkan
jari-jari lentik anak kecil berumur 5 tahun yang tengah duduk dipangkuannya
kala itu. Tanpa berani memandang Aline walau sejenak. Dan pada pertemuan terakhirnya
Fadhil pun berpesan pada Aline untuk mulai mengenakan jilbab, menutup auratnya.
Ya, pertemuan terakhir karena Fadhil harus mendaftarkan diri di salah satu
universitas di Kairo atas beasiswa.
Satu
tahun menjelang Ujian Nasional siswa SMA, Fadhil pulang ke Indonesia. Selain
melepas rindunya pada keluarga tercintanya, Fadhilpun menemui Aline.
Kebahagiaan yang tak terkira oleh Aline, karena Fadhil tak memberi tahu
sebelumnya. Tak bosan-bosannya Fadhil mengingatkan agar Aline mau mengenakan
jilbab, Fadhil juga membantu menyelesaikan beberapa tugas-tugas sekolah Aline, pada
kesempatan itu satu lembar surat di selipkan dalam ransel kecil milik Aline,
entah apa isinya.
Hanya
sepuluh menit mereka bicara, menurut Fadhil itu sudah lebih dari cukup, Fadhil
tak ingin berlama-lama menatap wajah gadis cantik yang belum halal baginya,
lain dengan Aline yang masih ingin melepas rindunya setelah setahun tak
bertemu, dan lagi-lagi Fadhil harus menjelaskan untuk kesekian kalinya. Akhirnya
Aline mulai mengerti tentang syari’ah Islam, meski belum sepenuhnya faham.
Bagaimanapun
Fadhil, dia tetaplah manusia biasa yang kadang tak mampu memenangkan logika
atas perasaan. Pemuda jaman sekarang jarang dijumpai yang bisa seperti Fadhil,
jika menjalani hidup sesuai syari’ah dan ajaran Islam malah di cemooh, dibilang
sok alimlah, gengsilah, sombong dan sebagainya.
Tak
ubahnya masyarakat Indonesia yang menganggap pacaran adalah hal yang wajar dan
biasa, di sepanjang taman-taman kota, monas, ancol dan tempat-tempat lain seperti
mall sering kita jumpai sejumlah abg dengan santainya bermesraan dimuka umum
tanpa ada rasa malu sedikitpun. Itulah
negara yang kita banggakan. Mayoritas berstatus muslim namun tak menjalankan aturan-aturan
Islam. Entahlah, mau jadi apa bangsa ini...? Pengusaha Indonesia memfasilitasinya
dengan membuka tempat karaoke yang
kebanyakan pengunjungnya pemuda-pemudi dan bukan mahrom, hotel yang jika ingin
menginap bersama pasangan tidak ditanyakan identitas jelas apakah mereka suami
istri atau bukan, discotik yang menyediakan minuman haram dll. Sungguh, sangat
memprihatinkan...
Mau
dibawa kemana bangsa ini...???!!
To
be continued