Senin, 27 Februari 2012

LOVE IN FACEBOOK "Cinta Yang Berbeda"


2. CINTA YANG BERBEDA

 Pagi ini Aline membantu mamanya memasak di dapur, sementara mbok Marni bertugas membersihkan semua ruangan. Aline ingin bertanya pada mamanya meski dengan perasaan yang entah apa namanya Aline pun tak tahu. “mama,...mau masak apa ciih?” tanya Aline basa-basi. “kira-kira mau masak apa kalau semua bahannya sudah ada di depan kamu”? jawab mamanya menggoda. “Akh.. mama ini bisa aja, mama kan tahu kalau Aline belum pernah masak sendiri,,, ehmm...ma...”, sejenak Aline berfikir bagaimana bisa dapat keterangan tentang Dimas dari mamanya. Tapi diurungkan niatnya karena malu. “Kenapa Line?” tanya Ibu Wine. “Aline hanya tersenyum dan menjawab “mama cantik”...Ibu Wine pun tersenyum menanggapi kalimat putri tercintanya. “kamu juga cantik sayang” lanjut ibu Wine. Mereka pun melanjutkan aktifitasnya.

 Hari ini hari libur, Aline duduk dan menyalakan laptopnya, seperti biasa jika ada waktu luang Aline akan menyempatkan membuka Facebooknya untuk sekedar update status, atau membalas pesan dari teman-temannya, meski tak sedikit yang ingin mengajaknya chatting, namun jarang ditanggapinya. Dibacanya status Fadhil :

“Orang sukses bukan karena banyaknya prinsip yang ia punyai, tapi karena  banyaknya prinsip yang sudah ia jalani”

            Dalam hati Aline mengiyakan apa yang dibacanya, dengan ragu-ragu Aline memberikan jempolnya untuk status Fadhil kali ini.

            Aline terus berfikir apa sebenarnya yang tengah terjadi pada dirinya, keinginan untuk mengenal Fadhil begitu kuat, namun begitu menyebut nama Fadhil bayangan Dimaslah yang selalu muncul. Dalam hati ia berharap bahwa Dimas adalah Fadhil, tapi harapan itu hanyalah harapan belaka karena Aline tahu betul bahwa Dimas adalah putra tunggal dari pak Bram dan sudah kuliah, sementara Fadhil masih sekolah di SMA Tunas Bhakti. Jadi jelas sudah bahwa Fadhil itu bukan Dimas.

            Sore yang cerah ketika Aline melangkahkan kaki hendak pergi ke sebuah toko buku yang berada tak jauh dari rumahnya. Memang rumah Aline letaknya sangat strategis, dan di design secara unik, perpaduan antara warna coklat kehitaman dan kuning emas serta tanaman dan bunga-bunga yang ditata dengan rapi semakin membuat orang akan betah berlama-lama tinggal dirumah itu. Semuanya diurus oleh Mbok Marni, sementara kebun depan dan belakang rumah diurus oleh Mang Udin, Mang Udin adalah tukang kebun keluarga Aline namun dia tidak tinggal di rumah Aline karena rumahnya tidak terlalu jauh dan keluarganya pasti akan lebih membutuhkan Mang Udin, terlebih istrinya yang baru saja melahirkan putra ke empatnya satu bulan yang lalu.
           
            “Aku mau beli buku apa ya?” pikir Aline sambil berjalan. Tentu yang tidak akan ketinggalan pastilah novel, salah satu penulis Indonesia yang sangat digandrunginya adalah Habiburrahman El-Shirazy, beberapa karya tulisnya yang sangat bagus diantaranya Pudarnya Pesona Cleopatra, Diatas Sajadah Cinta, KCB, Bumi Cinta sampai AAC  yang rekornya mampu menyaingi Harry Potter telah dibacanya, meski begitu Aline tetap membeli dan membaca novel-novel yang penulisnya belum populer, bahkan novel yang kadang-kadang dijual di pinggir jalan pun tak mengurangi minat Aline untuk membeli dan membacanya. Karena pada dasarnya kemampuan seseorang menulis novel itu tidak tergantung pada ketenaran penulisnya, tetapi pada hasil tulisannya, buktinya beberapa novel Ferry Irawan AM, tidak kalah menariknya, “Saung Naga” cerita cinta bernuansa islami, yang mampu membuat pembaca merasa menjadi tokoh yang ada di dalamnya, dan masih banyak lagi karya-karyanya yang lain, hanya tinggal menunggu waktu saja untuk para pembaca menyerbu Gramedia dan toko buku yang lainnya, novel ini memang masih baru diterbitkan bulan Februari 2010 oleh Penerbit Pustaka El-Syarif. “Sekalian buat perbandingan antara novel yang satu dengan yang lainnya”, begitu menurut Aline. Dengan begitu kualitas tulisan Aline akan semakin lebih menarik, meski masih dalam tahap belajar. Aline tersenyum kecil dan mengayunkan kakinya lebih cepat karena terik matahari sore ini cukup membuat muka dan kulit lengannya kemerah-merahan karena panas.

Setibanya di toko buku, Aline sudah tak sabar untuk segera menyusuri rak-rak buku. “Line, cari buku apa?” tanya Ayyas pemilik toko buku itu. Sebenarnya Ayyas punya lima karyawan yang bertugas menjaga toko buku, dua orang SPG, satu orang kasir dan dua orang bagian gudang. Namun Ayyas selalu ada setiap hari di sana untuk menerima laporan hariannya, maklum Ayyas belum mendapatkan asisten yang cocok untuknya, beberapa waktu yang lalu sempat ada namun kurang begitu bisa untuk diandalkan sehingga Ayyas memberhentikannya. “Emm, ada buku baru ga Mas Ayyas?” Aline menjawab dengan pertanyaan. “Buku atau novel?” tanya Ayyas kembali. “Dua-duanya mungkin boleh dilihat dulu?” jawab Aline sembari memberikan senyuman termanisnya pada Ayyas, senyuman yang membuat hati Ayyas berdebar tak karuan. Ayyas pun berjalan mendekati rak buku khusus novel terbarunya bulan ini dan menunjukkannya pada Aline. Sekali lihat Aline mulai tertarik dengan design covernya, font huruf, perpaduan warna dan karakternya sangat kuat. “ The Music Box of Love” begitu judulnya.

“Mas Ayyas, buku ini sepertinya bagus.. berapa harganya?” tanya Aline. Bukannya menjawab pertanyaan Aline malah Ayyas sibuk merhatiin muka Aline, “Subhanallah..” kata Ayyas. Aline tersenyum bingung membuat Ayyas sadar dan cepat-cepat menguasai dirinya. “Eh, Line.. tadi nanya apa?” Tanya Ayyas sambil tersenyum malu. Ayyas memang menyukai Aline, tapi Ayyas belum bisa mengatakan perasaannya ke Aline, takut Aline marah dan tak mengunjungi toko bukunya lagi. “Lebih baik bisa melihatnya setiap saat, memperhatikannya, melihat senyumnya daripada kehilangan pelanggan secantik Aline begitu pikir Ayyas. Hmm....

Setelah puas mendapatkan buku dan harganya juga tak terlalu mahal, Aline pun pamit pulang, tak lupa dia ucapkan terimakasih pada Ayyas. Ayyas tersenyum dan mengantar Aline keluar pintu toko.

Sambil jalan Aline sibuk memperhatikan buku yang baru dibelinya, rasanya sudah tak sabar ingin tahu jalan ceritanya. Tiba-tiba... brugh.. aw.. Aline menjerit kecil, bukunya terjatuh karena menabrak anak kecil yang sedang berlari.

Anak kecil itupun meringis menahan sakit. Aline yang tadinya mau marah menjadi iba melihatnya. “Adek ga apa-apa? Sini kakak bantu”. Kata Aline sambil mengulurkan tangannya. Tak lama kemudian ada seorang laki-laki yang menghampiri mereka setengah berlari.

“Maafin adek saya mbak..! kata laki-laki itu. Aline tercengang melihatnya. “Iya, ga apa-apa, kamuu... karyawan bengkel itu kan?” tanya Aline seolah tak mengenal nama Dimas. Dimas pun tersenyum mengiyakan.

“Gimana, kakinya masih sakit Arga?” tanya Aline. “sedikit kak...” jawab Arga sambil meringis menahan sakit. “ga apa-apa, anak laki-laki harus kuat, apalagi cuma karena jatuh” timpal Dimas. Aline sudah lega karena Arga sudah bisa tersenyum setelah diobati oleh seorang perawat. Mereka pun meninggalkan rumah sakit.

Disepanjang perjalanan hanya ditemani celotehan Arga, sesekali Aline dan Dimas saling menatap dan tersenyum. “Kak Aline cantik, baik lagi... Arga seneng ditemani kak Aline, kapan-kapan Arga boleh main lagi ga sama kak Aline?” tanya Arga. “Aline tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Tiba di depan pintu rumah Aline, “Arga sama kak Dimas, mampir dulu ya..!” pinta Aline. “Emm... bukannya menolak tawarannya nih Line, tapi kakak mau anter Arga pulang,.. mamanya pasti nyariin, insyaAlloh kapan-kapan kakak mampir” terang Dimas. “owh.... ok dech, salam buat mama Arga ya kak, maaf udah bikin kaki Arga luka” pesan Aline. Dimas tersenyum seraya mengucapkan salam sebelum pergi. “Dada kak Aliiine....” kata Arga sambil tertawa riang.

Aline memasuki rumah dengan hati bahagia, akhirnya bisa kenal dengan Dimas tanpa harus bertanya pada mamanya. “Hmm... nanti dikira suka lagi, orang cuma penasaran doank ko” gumam Aline. Diletakkannya buku yang baru saja dibelinya, baru saja membuka daftar isinya, tiba-tiba ponselnya berbunyi,,, lagu innocence nya Avril Lavigne mengalun indah, terlihat dilayar hpnya “Widy Calling”... “Hallo, ad apa Wid?” tanya Aline tanpa basa-basi, “Line, BT nech... jalan yuk..!” ajak Widy. “Loch emangnya si Indra kemana? biasanya tiap hari minggu kalian liburan?” tanya Aline lagi. “Dia lagi pergi ke rumah neneknya” jawab Widy, “ok deh, aku izin mama dulu, ajak Alysa juga ya..! barusan dia sms ada masalah” pinta Aline. “Masalah apa Line?” tanya Widy. “Entahlah, Alysa belum cerita dan akupun belum sempet bales smsnya.”

Seperti biasa Ibu Wine akan mengizinkan putrinya pergi jika bersama kedua sahabatnya itu dengan syarat tidak lewat jam 21.00 wib, mereka bertiga pun sampai disebuah taman kota. Duduk dikursi yang tersedia disepanjang jalan, memilih tempat yang agak sepi supaya mereka bebas ngobrol bertiga tanpa ada yang lalu lalang, biasanya sepasang kekasih yang sedang berjalan bergandengan sambil bercanda, entah apa yang dibicarakannya. Mereka memang mempersiapkan beberapa jenis makanan untuk menemani ngobrol malam ini. Tapi dari tadi tak terdengar tawa Alysa disepanjang perjalanan “Alysa, kamu ga seneng jalan sama kita?” tanya Aline membuka percakapan diantara ketiganya. Alysa hanya tersenyum, senyum yang seolah dipaksakan. “kamu kenapa Icha? Ada masalah?” Widy sengaja memanggil nama kecil Alysa, berharap Alysa bisa terbuka pada kedua sahabatnya. Lagi-lagi Alysa hanya diam, perlahan bola matanya mulai memerah dan air mata yang tak tertahankan mulai membanjiri kedua pipinya. Aline memeluk Alysa, “Icha, menangislah..! jika itu bisa bikin kamu lega. Hampir sepuluh menit Alysa menangis di pelukan Aline, setelah merasa cukup lega, Alysa melepaskan pelukannya.

“Yudha mutusin aku...” ungkap Alysa sedih. “Ko’ bisa?” kompak bagai tim obade Aline dan widy bertanya.  “ga tau.... dia hanya bilang kalau hubungan kita udah ga bisa diterusin lagi, selama ini aku udah berusaha ngertiin keadaan Yudha, aku tau dia sibuk dengan pekerjaannya, ngumpul dengan rekan kerjanya, aku nerima ga dapat banyak perhatian darinya, aku nerima meski aku ga pernah jadi diriku sendiri di hadapan teman-temannya, berusaha menjadi gadis dewasa yang seumuran dengan mereka, menjaga sikapku, tawaku dan manjaku supaya Yudha ga malu punya pacar sepertiku. Tapi... ya ini hasilnya” terang Alysa.

Aline dan Widy saling pandang, bermaksud untuk menghibur Alysa tapi bingung harus bicara apa. “Icha, kamu terlalu istimewa untuk Yudha, gadis sebaik kamu seharusnya mendapatkan laki-laki yang baik pula” Widy mencoba menanggapi Alysa. Diantara tiga sahabat ini memang hanya Widy yang mempunyai sikap dewasa, selama ini hanya dia yang bertahan dengan satu cinta pada Indra, entah karena sudah cocok atau memang Widy sudah terlanjur cinta pada Indra, tapi Indra memang lelaki yang baik, keluarga Widy sudah sangat dekat dengan Indra. Bisa dibilang hubungan mereka sudah mendapat lampu hijau dari kedua orang tua Widy. Sementara Aline yang merasa berkali-kali putus hanya diam saja untuk masalah ini.

Aline mengambil tiga kaleng minuman dan beberapa makanan kecil untuk mereka, setelah Alysa merasa baikan mereka pun berbagi cerita masing-masing, dengan begitu bisa saling memberikan solusi atas masalah masing-masing, begitu juga Aline yang akhirnya menceritakan siapa Fadhil, apalagi satu bulan ini mereka sering chatting dan semakin lebih dekat. Bahkan sudah bertukar nomor handphone.

“Ga salah Line, pacaran sama orang seperti Fadhil?” tanya Alysa. “yang salah tuch bukan Aline, tapi Fadhilnya apa ga salah mau pacaran sama Aline” timpal Widy. “Hmmm,,,, kalian kan tahu sendiri, selama ini aku asal trima aja, aku ga pernah suka sama mereka. Bahkan ketika aku harus jadian sama pak Albert guru fisika itu. Alasan aku supaya nilai fisikaku ga berantakan itu aja hehe...” kelit Aline. “Tapi, Fadhil beda.. dia memang menunjukkan perhatiannya padaku, tapi ga seperti kebanyakan cowo lain, sepertinya dia tulus, dia juga ga terang-terangan bilang suka, cinta atau rayuan gombal sejenis apalah itu... yang bisa bikin aku malah ilfeel, apalagi dia mengajar ngaji anak-anak, aku yakin dia lebih baik daripada yang lain” lanjut Aline

“Owh... dia ustad Line?” tanya Alysa. “Aku ga tau Cha, yang aku tau ya sebatas itu. Tapi aku pernah panggil dia ustad, dia ga berkenan, katanya belum pantes dipanggil seperti itu” terang Aline.  “Ok, kita tunggu perkembangan selanjutnya aja dari sahabat kita ini, mudah-mudahan dia bisa berubah jadi lebih baik” lanjut Widy sambil cengar-cengir.

            Asyik berbagi cerita hingga tak sadar waktu sudah hampir pukul 21.00 wib. “pulang yuk..!” ajak Aline. Kedua sahabatnya pun menurutinya. Kali ini Aline yang harus menyetir, sementara Widy sibuk mencari kaset yang bagus untuk di putar, tapi ga ada yang cocok. Matanya melihat sebuah buku terletak  didekat kemudi. “Line,,, novel baru?” tanya Widy. “novel apa Wid?” timpal Alysa. “Hm, iya. Aku baru membelinya sore tadi. Belum sempet baca lagi, tapi kayaknya bagus” jawab Aline.

            “Ketemu mas Ayyas donk?” goda Widy. “Iya tuh, pasti Aline mah ga niat beli bukunya tapi mau lihat mas Ayyas nya” lanjut Alysa. “Eh, kalian berdua apaan sih, engga ko’, emang mau cari novel aja, suntuk kan liburan dirumah ga ngapa-ngapain, paling Facebookan, chattingan, main game, habisnya bantuin nyokap masak malah diledekin mulu gara-gara kebanyakan masukin garam hufth.... ya udah, cari hiburan lain aja” jawab Aline.

            “Makanya punya pacar, biar ga suntuk dirumah” kata Widy. “kalau Aline punya pacar, aku donk yang kesepian” Alysa terlihat sedih ingat Yudha. Aline tertawa kecil. “Atau jangan-jangan kamu udah jadian lagi sama mas Ayyas Line?” tuduh Widy. “Hust, sembarangan kalau ngomong, siapa bilang.. orang cuma temen doank” jawab Aline. “ga apa-apa lagi Line kalau kamu suka mah?” jawab Widy. “Iya Line, mas Ayyas juga ganteng ko” tambah Alysa. Aline hanya tersenyum menanggapi kedua sahabatnya. Memang sejak putus dari David 6 bulan yang lalu, Aline mulai berubah. Aline takut punya cowo seperti David lagi, yang hanya memanfaatkan Aline semata. Cowo yang hampir merusak masa depan Aline, makanya Aline seperti trauma dengan pacaran. Dengan mengenal Fadhil yang pribadinya santun dan lembut sangat bertolak belakang dengan David, Aline berharap Fadhil benar-benar cowo yang baik. Aline terdiam untuk beberapa saat karena ingat masa lalu, tapi tak lama Alysa mengagetkannya dengan menanyakan judul buku Aline yang ada di tangan Widy.

Aline sampai di rumah setelah mengantarkan Widy dan Alysa pulang, rumah mereka tak terlalu jauh, butuh beberapa menit saja berjalan kaki.

            Aline tak dapat memejamkan matanya padahal malam telah larut, akhirnya memutuskan untuk membuka laptopnya, ternyata ada beberapa pesan dari Fadhil. Meski Fadhil tak pernah menyatakan cintanya pada Aline, tapi hubungan mereka sudah seperti seorang pacar, hanya bedanya belum pernah ketemu, tidak jalan setiap malam minggu seperti kebanyakan ABG lainnya, jarang sms atau telpon, pesan Fbnya pun hanya sekedar menanyakan kabar dan aktifitas apa yang dijalani seharian ini. Aline justru merasa nyaman dengan Fadhil tak pernah memaksakan kehendaknya, sikapnya dewasa. Itulah yang membedakan Fadhil dengan cowo lainnya.

            Sungguh Aline telah dibuat mencintai seorang Fadhil meski belum tahu bagaimana aslinya, Fadhil memang sudah mengirimkan foto via email, dan Aline sudah mencetaknya.  Pacaran yang aneh, tak pernah ada kata “I Love You, I miss You, I Need You” kata-kata yang sering diucapkan oleh pacar-pacar Aline sebelumnya. Aline bahkan sampai bosan mendengar rayuan-rayuan seperti itu. Fadhil memang apa adanya, selama ini hanya sekali dia bilang sayang pada Aline, dan Aline penasaran kenapa Fadhil jarang sekali mengucapkan kalimat-kalimat yang cowo lain sering katakan pada orang yang dicintainya. Namun Fadhil hanya tersenyum dan enggan menjawabnya. Justru dengan begitu Aline tak pernah bosan pada Fadhil, sekali saja Fadhil mengucapkan kata sayangnya untuk Aline, Aline merasa bahagia sekali. Yah, itulah... karena jarang Fadhil mengucapkan kata itu. Jadi terasa istimewa mendengarnya. Tapi bukan berarti Fadhil tak suka pada Aline, Dia pemuda yang tau etika, dia tak ingin menodai kesucian cintanya dengan nafsu. Tak ingin merusak gadis yang di sayanginya, tak ingin menyentuhnya sebelum halal baginya. Butuh waktu yang tepat untuk menjelaskan pada Aline tentang semua itu, karena Aline belum tentu bisa menerima alasan Fadhil.

            Sungguh baru pertama kali Aline mengenal laki-laki seperti Fadhil, dirasakannya cinta yang berbeda dari sebelumnya. Jika dulu Aline hanya bermain-main dengan cinta, kini dia benar-benar menjaga cinta itu.

            Hubungan mereka berjalan dengan baik-baik saja, dan bisa beberapa kali bertemu dengan ditemani oleh Alysa dan Widy. Pertemuan singkat namun cukup membuat Aline tersenyum simpul demi melihat kekasih hatinya ternyata sangat menjaga pandangannya. Awalnya Aline berfikir apakah sanggup berpacaran dengan orang seperti Fadhil, sementara dirinya tak begitu faham dengan syari’ah Islam.

            Hampir setengah jam Fadhil hanya menundukkan kepalanya, bahkan dia asyik memainkan jari-jari lentik anak kecil berumur 5 tahun yang tengah duduk dipangkuannya kala itu. Tanpa berani memandang Aline walau sejenak. Dan pada pertemuan terakhirnya Fadhil pun berpesan pada Aline untuk mulai mengenakan jilbab, menutup auratnya. Ya, pertemuan terakhir karena Fadhil harus mendaftarkan diri di salah satu universitas di Kairo atas beasiswa.

            Satu tahun menjelang Ujian Nasional siswa SMA, Fadhil pulang ke Indonesia. Selain melepas rindunya pada keluarga tercintanya, Fadhilpun menemui Aline. Kebahagiaan yang tak terkira oleh Aline, karena Fadhil tak memberi tahu sebelumnya. Tak bosan-bosannya Fadhil mengingatkan agar Aline mau mengenakan jilbab, Fadhil juga membantu menyelesaikan beberapa tugas-tugas sekolah Aline, pada kesempatan itu satu lembar surat di selipkan dalam ransel kecil milik Aline, entah apa isinya.

            Hanya sepuluh menit mereka bicara, menurut Fadhil itu sudah lebih dari cukup, Fadhil tak ingin berlama-lama menatap wajah gadis cantik yang belum halal baginya, lain dengan Aline yang masih ingin melepas rindunya setelah setahun tak bertemu, dan lagi-lagi Fadhil harus menjelaskan untuk kesekian kalinya. Akhirnya Aline mulai mengerti tentang syari’ah Islam, meski belum sepenuhnya faham.

            Bagaimanapun Fadhil, dia tetaplah manusia biasa yang kadang tak mampu memenangkan logika atas perasaan. Pemuda jaman sekarang jarang dijumpai yang bisa seperti Fadhil, jika menjalani hidup sesuai syari’ah dan ajaran Islam malah di cemooh, dibilang sok alimlah, gengsilah, sombong dan sebagainya.

            Tak ubahnya masyarakat Indonesia yang menganggap pacaran adalah hal yang wajar dan biasa, di sepanjang taman-taman kota, monas, ancol dan tempat-tempat lain seperti mall sering kita jumpai sejumlah abg dengan santainya bermesraan dimuka umum tanpa ada rasa malu sedikitpun.  Itulah negara yang kita banggakan. Mayoritas berstatus muslim namun tak menjalankan aturan-aturan Islam. Entahlah, mau jadi apa bangsa ini...? Pengusaha Indonesia memfasilitasinya dengan membuka tempat karaoke  yang kebanyakan pengunjungnya pemuda-pemudi dan bukan mahrom, hotel yang jika ingin menginap bersama pasangan tidak ditanyakan identitas jelas apakah mereka suami istri atau bukan, discotik yang menyediakan minuman haram dll. Sungguh, sangat memprihatinkan...
             
            Mau dibawa kemana bangsa ini...???!!

            To be continued


Tidak ada komentar:

Posting Komentar